Jurnas.net – Polemik antara stasiun televisi Trans7 dan Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, mendapat perhatian serius dari kalangan politisi Jawa Timur. Wakil Ketua Bidang Pesantren DPD Partai Golkar Jatim, Moch. Ma’ruf, menilai pemberitaan yang muncul tidak mencerminkan prinsip dasar jurnalisme berimbang dan justru cenderung menggiring opini publik secara sepihak.
“Berita yang baik seharusnya berimbang, berlandaskan fakta, dan tidak menyerang kehormatan seseorang, terlebih seorang kiai yang menjadi panutan umat,” kata Ma’ruf, di Surabaya, Rabu, 15 Oktober 2025.
Menurutnya, pemberitaan yang tidak proporsional bukan hanya berpotensi menimbulkan kesalahpahaman publik, tetapi juga melukai nilai-nilai luhur pesantren. Ia menegaskan, tradisi pesantren memiliki akar kuat dalam membentuk akhlaqul karimah dan tata krama santri kepada guru.
“Ungkapan seperti ngesot, mencium tangan kiai, atau memberi amplop bukanlah tindakan negatif. Itu bagian dari tradisi ngalap berkah dan penghormatan kepada guru, sebagaimana diajarkan dalam kitab Ta’limul Muta’allim,” jelas Ma’ruf yang juga dosen Pascasarjana Universitas Airlangga (Unair).
Baca Juga : Ketua Golkar Jatim Ali Mufthi Dekatkan Diri ke Pesantren: Disambut Hangat K.H. Ahmad Siddiq
Ma’ruf menilai langkah hukum yang diambil oleh Pesantren Lirboyo adalah sikap elegan dan sesuai kaidah. “Sebagaimana disebut dalam kaidah ushul fiqh, khukmul hakim ro’sul ikhtilaf—keputusan hakim adalah jalan penyelesaian perbedaan. Biarlah hukum yang berbicara,” katanya.
Golkar Jawa Timur, lanjutnya, mendukung penuh proses hukum agar kasus ini menjadi pelajaran berharga bagi dunia media dan lembaga pendidikan. “Golkar Jatim akan mengawal proses ini hingga tuntas, agar tidak ada lagi pelecehan terhadap lembaga keagamaan di masa mendatang,” tegasnya.
Selain membela kehormatan pesantren, Ma’ruf juga menegaskan komitmen Golkar untuk memperjuangkan penguatan pendidikan pesantren di level kebijakan nasional. Ia mendorong agar pemerintah mengalokasikan 20 persen dari APBN untuk pengembangan pesantren, baik dalam bentuk sarana, kurikulum, maupun pemberdayaan sumber daya manusia.
“Pesantren adalah benteng moral bangsa, sekaligus kawah candradimuka lahirnya pemimpin berkarakter. Kemandirian dan kearifan lokal pesantren adalah kekayaan budaya luhur yang wajib dijaga,” pungkas Ma’ruf.

 
									








