Sumpah Pemuda di Era Digital: Ansor Jatim Serukan Pemuda Menuntun Arah Zaman, bukan Ngekor

Ketua PW GP Ansor Jawa Timur, Musaffa Safril. (Dok: Jurnas.net)

Jurnas.net – Sumpah Pemuda bukan sekadar teks sejarah yang dibacakan pada 28 Oktober 1928. Lebih dari itu, ia adalah gema keberanian yang tak lekang oleh waktu, suara lantang anak muda yang menolak tunduk pada ketakutan, sekaligus penanda lahirnya kesadaran kolektif tentang Indonesia yang satu.

Di tengah derasnya arus globalisasi dan gegap gempita dunia digital hari ini, semangat itu menuntut bentuk baru: keberanian berpikir merdeka dan kejujuran bersikap. Tahun 2025 menjadi momentum refleksi bagi generasi muda Indonesia. Masihkah api Sumpah Pemuda menyala seperti dulu, atau justru mulai redup di bawah kenyamanan, popularitas, dan tekanan kompromi moral di dunia maya?

Ketua PW GP Ansor Jawa Timur, Musaffa Safril, menekankan bahwa Sumpah Pemuda bukan sekadar seremonial. “Generasi muda harus mencontoh keberanian para pendahulu kita, yang berani menentang arus untuk memperjuangkan persatuan bangsa. Keberanian itu hari ini harus diwujudkan dalam bentuk berpikir kritis dan berani bersikap jujur, bukan sekadar mengikuti arus populer di media sosial,” ujar Safril, Selasa, 28 Oktober 2025.

Menurut Musaffa, nilai seorang pemuda tidak diukur dari seberapa viral atau populer ia di platform digital, melainkan dari seberapa teguh ia menyuarakan kebenaran, bahkan ketika berhadapan dengan arus besar kekuasaan dan opini publik. “Di era algoritma yang memanipulasi narasi, keberanian menjadi kemewahan sejati yang hanya dimiliki oleh jiwa merdeka,” ujarnya.

Baca Juga : Mengenang Riyanto Banser: Pahlawan Toleransi yang Menjadi Teladan Bagi Ansor Jawa Timur

Pemuda sejati, kata Musaffa, tidak menunggu arah angin popularitas, tidak mencari aman di balik jabatan, dan tidak menyembunyikan idealismenya demi kenyamanan pribadi. “Seorang pemuda yang benar-benar merdeka berdiri di atas kaki sendiri, meski rapuh dan sendirian. Di sanalah letak kehormatan seorang pejuang,” jelasnya.

Refleksi Sumpah Pemuda hari ini, menurut Musaffa, bukan sekadar nostalgia, melainkan panggilan moral. Masihkah generasi muda berani berkata tidak pada ketidakadilan? Masihkah kita yakin bahwa perubahan sejati lahir dari keberanian menentang kebohongan, bukan kepatuhan semu?

“Menjaga Indonesia berarti menjaga keberanian dan kejujuran. Tanpa keberanian, cita-cita hanya tinggal wacana. Tanpa kejujuran, perjuangan kehilangan makna. Pemuda hari ini harus menjadi motor penggerak perubahan, bukan sekadar penonton zaman,” tegasnya.

Makna sejati Sumpah Pemuda, lanjut Musaffa, adalah bersatu dalam keberanian, merdeka dalam pikiran, dan teguh dalam kejujuran. “Generasi muda harus menuntun arah zaman, bukan sekadar mengikutinya. Karena kemewahan terakhir seorang pemuda bukanlah kekuasaan atau popularitas, melainkan keberanian untuk tetap menjadi diri sendiri di tengah tekanan yang ingin membuatnya menyerah,” pungkasnya.