Benang Emas: Dari Mesin Jahit MBR Menjadi Mesin Harapan Ekonomi Surabaya

Warga berpenghasilan rendah (MBR) Surabaya menenun kisah perubahan hidup yang nyata. (Humas Pemkot Surabaya)

Jurnas.net – Di tengah deru mesin jahit yang tak pernah berhenti di Jalan Tambak Wedi, Surabaya, semangat kemandirian menggema dari balik setiap helai kain. Di tempat sederhana yang menjadi markas UKM Benang Emas di bawah naungan Koperasi Sumber Barokah (SMB) ini, 114 warga berpenghasilan rendah (MBR) menenun kisah perubahan hidup yang nyata, dari kesulitan ekonomi menjadi simbol ketangguhan.

Selama empat tahun beroperasi, UKM Benang Emas telah menjelma bukan sekadar unit usaha jahit-menjahit, tetapi sebagai gerakan sosial ekonomi yang memadukan nilai bisnis, pemberdayaan, dan pembangunan mental. Dari tangan-tangan terampil ibu rumah tangga, disabilitas, hingga kepala keluarga, lahirlah ribuan produk berkualitas: seragam sekolah, pakaian dinas, hingga pesanan khusus dari pondok pesantren di Jawa Timur dan bahkan jemaat gereja di Papua.

“Fokus kami bukan hanya pada omzet, tapi pada pertumbuhan berkelanjutan dan kemandirian. UKM Benang Emas hadir untuk menaungi mereka yang ingin menjahit masa depan baru bagi keluarganya,” kata Ketua Koperasi SMB, Uci Fatimatuzzahro, akrab disapa Ning Uci, Rabu, 29 Oktober 2025.

Berbekal dukungan dari Pemerintah Kota Surabaya yang pro terhadap UMKM, UKM Benang Emas mendapat peluang besar dalam berbagai proyek, termasuk program seragam gratis bagi siswa MBR. Volume pekerjaan yang stabil mengubah kegiatan menjahit yang semula dianggap pekerjaan sampingan, menjadi sumber penghasilan utama.

Namun bagi Ning Uci, keberhasilan terbesar bukan pada angka pendapatan, melainkan perubahan mental. Melalui Sekolah Tangguh UKM Tangguh Surabaya (Setara), para anggota dididik soal disiplin, manajemen waktu, hingga tanggung jawab profesional.

“Anggota diajarkan prinsip kerja profesional deadline tidak bisa ditawar, kualitas harus dijaga bersama. Jika ada satu yang kesulitan, anggota lain akan turun tangan membantu. Di sini bukan hanya skill, tapi karakter yang dibangun,” kata Ning Uci.

Program Tabungan Hari Raya (Tahara) juga menjadi tonggak kemandirian. Dana yang dicairkan menjelang Ramadan menjadi simbol kebanggaan: mereka bisa merayakan Lebaran dari hasil jerih payah sendiri, bukan dari THR. “Bahkan ada seorang ibu yang batal menjual ginjal demi biaya kuliah anaknya setelah bergabung di sini. UKM Benang Emas bukan sekadar tempat kerja, tapi ruang hidup baru bagi banyak orang,” ujarnya.

Perubahan itu dirasakan nyata oleh Makruf (46), penyandang disabilitas asal Semampir yang kini menjadi kepala bagian pemotongan kain di UKM Benang Emas. Dulu, penghasilannya di konveksi hanya cukup untuk makan. Kini, dengan tim kecil beranggotakan empat orang, Makruf bisa mengantongi Rp10–12 juta per bulan saat pesanan ramai.

“Dulu sering gali lubang tutup lubang. Sekarang, Alhamdulillah, bisa nyicil rumah, beli motor, dan menyekolahkan anak di pondok pesantren,” ujarnya.

Kisah serupa datang dari Suliha (45), penjahit asal Tambak Wedi Baru. Dulu upahnya hanya cukup untuk bertahan hidup, kini ia bisa menjahit hingga 20 potong baju per hari dengan pendapatan mencapai Rp2 juta tiap pencairan dua kali seminggu.

“Sekarang saya bisa memperbaiki rumah, beli motor, dan bantu keluarga. Rasanya luar biasa, karena semua ini hasil dari kerja keras sendiri,” kata Suliha tersenyum.

Kisah UKM Benang Emas adalah bukti bahwa pemberdayaan bukan sekadar memberi pekerjaan, tapi menumbuhkan harga diri. Di balik deru mesin jahit, tumbuh harapan dan martabat baru bagi warga MBR Surabaya. Dari tangan-tangan terampil itulah, benang emas sejati ditenun: kemandirian, solidaritas, dan masa depan yang lebih baik.