Jurnas.net – Gedung Negara Grahadi, salah satu ikon bersejarah sekaligus cagar budaya kebanggaan masyarakat Jawa Timur. Kini hanya menyisakan puing dan arang setelah dilalap api pada aksi demonstrasi yang berujung ricuh, pada Sabtu malam, 30 Agustus 2025.
Tragedi ini menorehkan catatan kelam dalam sejarah panjang Grahadi yang telah berdiri kokoh lebih dari dua abad, dan menjadi saksi perjalanan politik, sosial, dan budaya Jawa Timur.
Peristiwa ini bukan hanya tentang hilangnya sebuah bangunan bersejarah, tetapi juga tentang rapuhnya identitas dan memori kolektif masyarakat Jawa Timur. Grahadi yang selama ini menjadi simbol pemerintahan provinsi, dan warisan kolonial yang dijaga keberadaannya, kini hancur akibat amarah massa yang tak terkendali.
Gedung Negara Grahadi dibangun pada 1795 oleh Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Awalnya, bangunan ini difungsikan sebagai rumah peristirahatan Residen Surabaya yang kala itu berada di tepi Sungai Kalimas. Nama Grahadi berasal dari bahasa Sanskerta, gabungan kata Graha (rumah) dan Adi (indah atau megah), yang berarti “rumah yang megah dan elok”.
Dengan arsitektur bergaya Indische Empire Style, Grahadi memadukan keanggunan Eropa dengan sentuhan tropis Nusantara. Pilar-pilar besar, atap tinggi, halaman luas, serta lantai kayu jati solid menjadi ciri khasnya. Bangunan ini menjadi saksi berbagai peristiwa penting, mulai dari pertemuan pejabat kolonial hingga rapat-rapat strategis pemerintah daerah.
Pada masa pendudukan Jepang (1942–1945), Grahadi diambil alih dan difungsikan sebagai kantor pemerintahan militer Jepang. Setelah Indonesia merdeka, Grahadi menjadi kantor resmi Gubernur Jawa Timur sekaligus pusat aktivitas pemerintahan provinsi.
Tak hanya itu, halaman Grahadi sering menjadi lokasi pidato kenegaraan, upacara penting, dan penyambutan tamu-tamu besar. Pada era Presiden Soekarno hingga Soeharto, Grahadi menjadi tempat berbagai pertemuan penting terkait pembangunan Jawa Timur. Era kini, halaman Grahadi juga sering menjadi tempat latihan paskibraka, drumband anak-anak sekolah dan lainnya.
Hingga sebelum tragedi 30 Agustus 2025, Grahadi berfungsi sebagai rumah dinas Gubernur Jawa Timur dan lokasi penyelenggaraan berbagai acara resmi. Bagi warga Surabaya, Grahadi bukan sekadar gedung, melainkan simbol identitas dan kebanggaan daerah.
Sebagai salah satu peninggalan kolonial tertua di Surabaya, Grahadi telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya Kota Surabaya. Ini berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2005 tentang Pelestarian Bangunan Bersejarah.
Pemerintah Jawa Timur bersama Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) rutin melakukan konservasi, termasuk perawatan ornamen kayu, perbaikan struktur, dan penataan taman agar keaslian bangunan tetap terjaga.
Sebelum insiden terjadi, Grahadi menjadi destinasi edukasi dan wisata sejarah. Banyak pelajar, peneliti, hingga wisatawan datang untuk mempelajari nilai arsitektural dan kisah panjang di balik megahnya bangunan ini.
Baca Juga : Pokja Grahadi Cari Penantang Khofifah-Emil di Pilgub Jatim 2024
Tragedi Pada Sabtu Malam, 30 Agustus 2025: Grahadi Dilalap Api “Demonstasi”
Pada Sabtu malam, 30 Agustus 2025, suasana di Grahadi berubah mencekam. Aksi ricuh demonstrasi yang awalnya berlangsung damai di depan Grahadi mendadak ricuh tak terkendali. Massa melemparkan batu, merusak pagar, dan membakar sejumlah fasilitas. Termasuk ruang kerja awak media. Ironisnya, massa aksi menjarah yang ada di dalamnya, termasuk alat kerja para jurnalis yang biasa berada di Grahadi.
Menurut keterangan resmi, bom molotov dilemparkan ke arah bagian barat Grahadi, memicu kebakaran besar yang dengan cepat menjalar ke ruang kerja Wakil Gubernur dan beberapa ruangan utama. Api melahap interior bersejarah, dokumen penting, dan sebagian besar struktur bangunan.
Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa mengungkapkan penyesalan. Mengingat Grahadi bukan sekadar aset pemerintah, tetapi juga warisan sejarah dan identitas Jawa Timur.
“Kami semua prihatin. Tiga puluh menit sebelum molotov dilempar, saya dan Pangdam sempat berdialog dengan perwakilan massa. Saya bahkan sudah menyampaikan aspirasi mereka ke Kapolda,” ujar Khofifah.
Khofifah menegaskan bahwa tidak ada pembakaran di rumah dinas Wakil Gubernur Emil Elestianto Dardak, melainkan pada ruang kerja Wagub yang berada di kompleks Grahadi.
Pemerintah pusat melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi telah mengirimkan tim ahli untuk menilai kerusakan dan merancang restorasi konservatif, yakni pemulihan Grahadi dengan mempertahankan bentuk dan material aslinya sejauh memungkinkan.
Sementara itu, Polda Jawa Timur telah menangkap 580 orang terduga pelaku pembakaran dan perusakan, pasca rangkaian aksi unjuk rasa yang berujung ricuh di enam kota/kabupaten di Jawa Timur. Yaitu Kota Surabaya, Kota Malang, Kota Kediri, Kabupaten Malang, Kabupaten Kediri, dan Kabupaten Sidoarjo.
Kabid Humas Polda Jatim, Kombes Jules Abraham Abast, memastikan proses hukum akan berjalan tegas dan transparan, sebagai upaya melindungi warisan budaya dari ancaman serupa di masa mendatang.
“Sebanyak 89 dari 580 orang itu diproses hukum, 12 orang masih pemeriksaan, dan 479 lainnya dipulangkan setelah didata serta diserahkan kepada keluarga maupun LBH,” kata Jules.
Runtuhnya Gedung Negara Grahadi seakan menyadarkan publik bahwa menjaga warisan sejarah adalah tanggung jawab bersama. Grahadi bukan hanya bangunan fisik, melainkan penyimpan memori kolektif Jawa Timur. Kehancurannya adalah kehilangan yang dirasakan oleh generasi kini dan yang akan datang.
Pemerintah Jawa Timur berkomitmen untuk membangun kembali Grahadi dan mengembalikan kejayaannya. Namun, peristiwa ini menjadi pelajaran penting agar konflik sosial tidak lagi merenggut aset sejarah yang tak ternilai.