Jurnas.net – Indonesia memerlukan investasi jumbo mencapai 260 miliar USD atau setara Rp4.000 triliun, untuk mewujudkan target dekarbonisasi industri dan mencapai netral karbon pada 2050. Angka fantastis ini tercantum dalam Peta Jalan Dekarbonisasi Industri yang baru saja disusun Kementerian Perindustrian bersama sejumlah pemangku kepentingan.
Koordinator Kebijakan dan Teknologi Program Dekarbonisasi Industri Institute for Essential Services Reform (IESR), Faricha Hidayati, menyampaikan bahwa investasi ini dibutuhkan untuk mendukung transisi energi, penerapan teknologi ramah lingkungan, dan penurunan emisi karbon di berbagai subsektor industri.
Sementara itu, subsektor dengan kebutuhan investasi paling rendah adalah industri otomotif yang hanya memerlukan sekitar 0,5 miliar USD.
“Total investasi yang dibutuhkan mencapai 260 miliar USD untuk periode 2025 hingga 2050. Dari angka itu, subsektor industri pupuk menjadi penyumbang kebutuhan investasi terbesar, mencapai 129 miliar USD,” kata Faricha, dalam Training Jurnalis Interpretasi Data dan Peta Jalan Dekarbonisasi Industri, yang digelar secara daring, Selasa, 9 September 2025.
Menurut Faricha, strategi dekarbonisasi terbesar berada pada sektor listrik rendah karbon dan elektrifikasi dengan kebutuhan investasi sekitar 101 miliar USD. Teknologi ini paling banyak dimanfaatkan pada industri pupuk dan sejumlah sektor energi intensif lainnya.
Namun, tingginya kebutuhan investasi ini diperkirakan akan berdampak langsung pada kenaikan harga produk industri. Faricha menilai, pemerintah perlu memikirkan insentif kebijakan agar harga produk dalam negeri tetap kompetitif di pasar global.
“Butuh dukungan insentif dari pembuat kebijakan agar produk-produk hasil dekarbonisasi tidak kalah bersaing dengan negara lain,” ujarnya.
Baca Juga : SIER-Fairatmos Kolaborasi Kembangkan Proyek Karbon Perkuat Industri Hijau Masa Depan
Dalam peta jalan tersebut, industri kaca diprediksi akan mengalami kenaikan harga produk tertinggi, yakni sekitar 72,6%. Lonjakan ini terjadi karena industri kaca membutuhkan hidrogen hijau dan teknologi Carbon Capture, Utilization, and Storage (CCUS) dalam proses produksinya untuk menekan emisi karbon.
Sebaliknya, industri makanan dan minuman justru diproyeksikan mengalami penurunan harga produk sekitar 7%. Hal ini karena subsektor tersebut mampu memanfaatkan limbah produksi sebagai bahan bakar untuk menghasilkan panas, sehingga menekan biaya operasional.
Menurutnya, peta jalan ini menjadi acuan penting bagi industri nasional untuk menghadapi transisi energi dan target net zero emission. Namun, tanpa dukungan pendanaan dan kebijakan insentif, industri dikhawatirkan kesulitan menyesuaikan diri dan menjaga daya saing.
“Dekarbonisasi bukan hanya soal teknologi, tapi juga soal kesiapan ekosistem, regulasi, dan insentif. Kolaborasi antara pemerintah, pelaku industri, dan investor menjadi kunci untuk mencapai target 2050,” tandasnya.