Kontroversi Penetapan Tersangka: Proses Hukum Dahlan dan Nany di Tengah Proses Gugatan Perdata di PN Surabaya

Dahlan Iskan. (Istimewa)

Jurnas.net – Status tersangka yang disematkan pada mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan dan mantan Direktur Jawa Pos Nany Widjaja mengundang sorotan tajam. Penetapan ini muncul di tengah proses hukum perdata yang masih berjalan di Pengadilan Negeri Surabaya, terkait sengketa kepemilikan saham PT Dharma Nyata Pers (DNP), perusahaan media yang menaungi salah satu tabloid nasional.

Keduanya dilaporkan oleh PT Jawa Pos atas dugaan pemalsuan dan penggelapan surat terkait kepemilikan saham di PT DNP. Namun, menurut kuasa hukum Nany Widjaja, Billy Handiwiyanto, kliennya adalah pemegang saham sah berdasarkan akta jual beli saham tahun 1998 yang telah dibayar lunas.

“Saham dibeli Nany dari Anjarani dan Ned Sakdani senilai Rp648 juta, lunas dalam enam cek bertahap. Bahkan, pada Desember 2018 ada penambahan modal pribadi yang membuat komposisi saham Nany menjadi 264 lembar dan Dahlan Iskan 88 lembar,” kata Billy, Kamis, 10 Juli 2025.

Surat Pernyataan 2008 Jadi Bumerang

Akar persoalan bermula dari surat pernyataan yang ditandatangani pada 2008, yang menyatakan bahwa saham PT DNP merupakan milik PT Jawa Pos. Surat ini, menurut pengacara, dibuat atas permintaan Dahlan Iskan demi keperluan rencana go public, yang akhirnya tidak terealisasi.

Sebagai bentuk koreksi, akta pembatalan dibuat tahun 2009, yang menegaskan bahwa kepemilikan tetap atas nama pribadi.

Lebih lanjut, Billy menyoroti ketidaksesuaian akta pernyataan tersebut dengan UU Penanaman Modal Pasal 33 ayat 1 dan UU Perseroan Terbatas Pasal 48 ayat 1, yang secara tegas melarang adanya saham atas nama pihak lain atau perjanjian kepemilikan atas nama ‘nominee’.

“Dari 1998 hingga kini, nama pemegang saham di data AHU hanya tercatat atas nama Nany Widjaja dan Dahlan Iskan. Tidak pernah ada nama PT Jawa Pos,” ujarnya.

Baca Juga : Ini Kronologi Perkara Dahlan Iskan dan Nany Wijaya Ditetapkan Tersangka Soal Sengketa Saham

Dasar Laporan Pidana Dipertanyakan

Meski telah ada pembatalan akta dan masih berlangsung proses gugatan perdata, PT Jawa Pos tetap melaporkan Dahlan dan Nany secara pidana. Mereka dikenai sejumlah pasal berat, termasuk Pasal 263 dan 266 tentang pemalsuan dokumen, Pasal 372 dan 374 soal penggelapan, serta UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

Billy mengungkapkan, proses pelaporan ini tidak sejalan dengan rekomendasi gelar perkara yang dilakukan Biro Wasidik Mabes Polri pada 13 Februari 2025. Rekomendasi kala itu adalah pendalaman pemeriksaan terhadap semua pihak, termasuk keterangan dari Dahlan Iskan sebagai saksi kunci, dan permohonan ahli dari pihak Nany.

“Sayangnya, permohonan pemeriksaan ahli kami tak digubris. Tapi ahli dari pihak pelapor sudah tiga kali diperiksa,” ungkapnya.

Yang mengejutkan, kabar penetapan tersangka justru pertama kali diketahui dari pemberitaan media daring, bukan surat resmi dari kepolisian.

“Kami benar-benar terkejut. Sampai sekarang surat resminya belum kami terima. Tapi berita di media sudah ramai,” tegas Billy.

Baca Juga : Bernasib Sama, Nany Wijaya dan Dahlan Iskan Pertanyakan Polda Jatim Proses Penetapan Tersangka

Perdata Belum Selesai, Mengapa Pidana Dijalankan?

Saat ini gugatan perdata yang dilayangkan pihak Nany untuk mengesahkan kepemilikan saham masih berjalan di PN Surabaya. Agenda sidang pun baru akan memasuki tahapan pembuktian.

Billy menilai penetapan tersangka terhadap kliennya dan Dahlan sangat prematur. Merujuk pada Perma Nomor 1 Tahun 1956, disebutkan bahwa perkara pidana sebaiknya ditunda jika terkait objek yang masih disengketakan secara perdata.

“Kami tidak menolak proses hukum. Tapi penegakan hukum itu harus tertib dan objektif. Ini bisa jadi preseden buruk,” jelas Billy.

Hukum Harus Mengedepankan Keadilan, Bukan Tekanan

Kasus ini membuka diskursus penting tentang keadilan dalam proses hukum. Ketika pidana didahulukan sebelum perkara perdata selesai, muncul kekhawatiran bahwa instrumen hukum digunakan untuk menekan salah satu pihak.

Dalam konteks ini, sorotan tertuju pada profesionalisme penegak hukum. Apakah benar Polri sedang menjalankan semangat Presisi prediktif, responsibilitas, dan transparansi berkeadilan seperti yang dikampanyekan?

Penting bagi publik untuk ikut mengawasi. Karena pada akhirnya, hukum bukan hanya soal prosedur, tapi juga rasa keadilan.