Jurnas.net – Munculnya Surat Daftar Pencarian Orang (DPO) terhadap Anggota DPRD Wakatobi, Litao alias La Lita menyita perhatian.
Berkaitan dengan hal itu, Kuasa Hukum Anggota DPRD Wakatobi, Litao alias La Lita, menilai surat Daftar Pencarian Orang (DPO) terhadap kliennya yang beredar justru penuh dengan kejanggalan serius. Hal ini menegaskan bahwa framing yang selama ini diarahkan kepada Litao sebagai “buronan” tidak dapat dijadikan dasar hukum yang sahih.
Menurut Tony Hasibuan, Kuasa Hukum Lita, poin paling mencolok adalah perbedaan usia yang dicantumkan dalam surat tersebut. “Di dalam DPO disebutkan usia Litao 36 tahun. Padahal, pada saat itu (tahun 2014) usia sebenarnya baru 33 tahun. Perbedaan tiga tahun dalam dokumen resmi kepolisian tentu tidak bisa dianggap sepele. Hal ini menunjukkan adanya ketidaktelitian, atau bahkan bisa jadi adanya dugaan manipulasi data,” jelas Tony, dalam keterangannya, Minggu, 14 September 2025.
Baca Juga : Anggota DPRD Jatim Dapat Tunjangan Rumah Rp57 Juta Per Bulan, Lebih Besar dari DPR RI
Tak hanya soal usia, foto yang digunakan dalam surat DPO juga dinilai tidak akurat. Tony menegaskan, foto yang ditampilkan sangat berbeda dengan kondisi nyata Litao di usia 33 tahun.
“Foto tersebut sama sekali tidak merepresentasikan keadaan fisik klien kami kala itu. Publik patut bertanya: bagaimana mungkin aparat mengeluarkan dokumen resmi dengan identitas yang tidak valid?” lanjutnya.
Tony menegaskan, dua kejanggalan mendasar ini sudah cukup membuktikan bahwa status DPO terhadap kliennya tidak memiliki kepastian hukum. Ia mengingatkan, dalam sistem hukum pidana, setiap orang berhak atas proses yang adil serta dokumen resmi yang valid, bukan sekadar tuduhan yang lahir dari kesalahan administrasi.
“Dalam asas hukum pidana, kejelasan identitas adalah kunci. Jika data usia dan foto saja keliru, maka secara yuridis surat tersebut sudah tidak layak dijadikan dasar menyebut seseorang buronan. Apalagi ketika klien kami secara terbuka mengikuti proses politik, diverifikasi administrasi, hingga dilantik menjadi anggota DPRD,” tegas Tony.
Lebih jauh, kuasa hukum menilai munculnya kembali isu DPO justru sarat dengan muatan politik. “Kita tidak bisa menutup mata bahwa ada pihak yang diuntungkan jika Litao dipaksa turun dari kursi DPRD. Maka, kejanggalan surat DPO ini patut dipandang sebagai bagian dari upaya framing politik, bukan proses hukum yang objektif,” ujar Tony.
Dengan berbagai kejanggalan ini, pihak kuasa hukum mendesak agar aparat penegak hukum lebih berhati-hati, profesional, dan tidak membiarkan hukum dijadikan alat kepentingan sesaat.