Lompatan Hijau Indonesia: Perjuangan Panjang Menjemput Masa Depan Tanpa Emisi 2060

Ilustrasi dekarbonisasi industri. (istimewa)

Jurnas.net – Di balik gemuruh mesin-mesin pabrik, di antara kepulan asap yang membubung tinggi ke langit, sebuah pertanyaan besar menggantung, mampukah Indonesia menjemput masa depan tanpa emisi?.

Tentu jawabannya bukan sekadar soal teknologi, melainkan tentang keberanian. Tentang bangsa yang memilih berjalan di jalan terjal, meninggalkan kenyamanan energi fosil, dan melangkah menuju masa depan yang lebih bersih.

Sejak COP27 di Mesir dan KTT G20 Bali 2022, Indonesia memantapkan tekadnya untuk menurunkan emisi gas rumah kaca hingga 31,9% dengan usaha sendiri dan 43,2% dengan dukungan dunia internasional. Targetnya jelas, jalannya panjang menuju net-zero emission pada 2060, atau bahkan lebih cepat.

Tentu, perjalanan ini tak sederhana. Menurut data KLHK, pada 2019 Indonesia menghasilkan sekitar 1,86 miliar ton CO2e, dan sektor energi menjadi penyumbang terbesar dengan 638,8 juta ton CO2e, disusul sektor industri dengan 60,2 juta ton CO2e. Dengan angka sebesar itu, industri jelas berada di jantung pertempuran.

Awal Sebuah Transformasi

Di Annual Indonesia Green Industry Summit (AIGIS) 2025, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita, berdiri di hadapan ratusan pelaku industri. Nada suaranya tegas, tapi sorot matanya menyimpan harapan.

“Transformasi industri hijau bukan pilihan, tapi keniscayaan. Jika kita ingin produk Indonesia bersaing di pasar global, kita harus bergerak sekarang,” kata Agus.

Dalam kesempatan itu, Kemenperin meluncurkan Peta Jalan Dekarbonisasi Industri – dokumen strategis yang akan menjadi kompas transformasi menuju industri rendah emisi. Targetnya ambisius, pengurangan 66,5 juta ton CO2e pada 2035 dan 289,7 juta ton pada 2050.

Peta jalan ini fokus pada sembilan subsektor industri penyumbang emisi terbesar, mulai dari semen, baja, pupuk, kimia, pulp dan kertas, tekstil, kaca dan keramik, otomotif, hingga makanan dan minuman.

“Ini adalah dokumen hidup. Kita akan terus menyempurnakannya, menyesuaikan dengan teknologi terbaru dan tantangan masa depan. Tanpa keberanian berinovasi, kita akan tertinggal,” kata Kepala Pusat Industri Hijau Kemenperin, Apit Pria Nugraha.

Baca Juga : Jadi Kawasan Industri Percontohan Energi Hijau: SIER Terima Kunjungan Delegasi Internasional

Taruhan Besar: Antara Ekonomi, Lingkungan, Atau Energi Bersih Jantung Revolusi Industri

Dekarbonisasi bukan sekadar proyek lingkungan. Ini adalah taruhan besar atas masa depan ekonomi bangsa.

Di satu sisi, industri adalah penopang pertumbuhan, menyerap jutaan tenaga kerja dan mendorong investasi. Di sisi lain, dunia kini bergerak ke arah ekonomi hijau. Pasar global perlahan menutup pintu bagi produk dengan jejak karbon tinggi.

Namun, transformasi industri tak mungkin terjadi tanpa revolusi energi. Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo, memaparkan langkah konkret, yakni pensiun dini PLTU batu bara, moratorium pembangunan pembangkit fosil baru, dan percepatan transisi menuju energi baru terbarukan (EBT).

“Masa depan industri Indonesia ada pada energi bersih. Ini bukan retorika, ini keharusan,” kata Darmawan.

PLN mengadopsi skema Energy Transition Mechanism (ETM), memadukan pembiayaan inovatif dengan teknologi terbarukan. Selain itu, PLN juga memperluas pemanfaatan co-firing biomassa, mempercepat pembangunan pembangkit listrik tenaga air dan panas bumi, hingga membangun ekosistem kendaraan listrik.

Langkah-langkah ini bukan hanya tentang menurunkan emisi, tetapi menciptakan peluang ekonomi baru dan membuka lapangan kerja hijau di sektor energi bersih.

Ilustrasi dekarbonisasi industri. (Istimewa)

Masa Depan yang Kita Bangun Bersama

Indonesia kini berdiri di persimpangan sejarah. Apakah kita akan terus berjalan di jalur lama, bergantung pada energi fosil dan industri padat karbon?. Atau, kita berani melompat, meninggalkan jejak lama, dan menjemput masa depan yang lebih hijau?

Jawabannya ada di tangan semua pemangku kepentingan pemerintah, dunia usaha, investor, akademisi, dan masyarakat. Dekarbonisasi bukan sekadar proyek pemerintah, tetapi mimpi kolektif tentang bumi yang layak dihuni generasi berikutnya.

Seperti dikatakan CEO IESR, Fabby Tumiwa.
“Jika kita bekerja bersama, Indonesia bisa menjadi pemimpin industri hijau Asia Tenggara. Tantangannya besar, tapi peluangnya jauh lebih besar,” kata Fabby.

Transformasi ini mungkin panjang dan penuh rintangan. Tetapi, setiap langkah kecil dari mengurangi jejak karbon pabrik semen, hingga mengganti energi PLTU dengan biomassa adalah bagian dari perjalanan besar menyelamatkan bumi. Dan sejarah akan mencatat, bahwa di awal abad ke-21, Indonesia memilih berubah.