2.909 Anak di Banyuwangi Tak Sekolah dan Diklaim Terendah di Jatim

Kegiatan belajar sekolah di Kota Surabaya. (Dok: Humas Pemkot Surabaya)

Jurnas.net – Pemerintah Kabupaten Banyuwangi mengklaim Angka Anak Tidak Sekolah (ATS) di wilayahnya terendah se- Jawa Timur. Berdasarkan data, jumlah ATS dari 5.420 anak pada September 2023 menurun menjadi 2.909 anak hingga 26 Januari 2024.

Data resmi persentase anak tidak sekolah (ATS) berdasarkan sekolah dibanding dengan jumlah peserta didik pada tahun 2023, anak putus sekolah di Banyuwangi hanya 2,08 persen. Angka tersebut masuk lima terendah di Jatim. Kabupaten/kota lain di Jatim ada yang persentase anak tidak sekolahnya mencapai 5 persen, bahkan 8 persen.

Adapun bila dibandingkan dengan wilayah timur Pulau Jawa yang kerap disebut “Sekar Kijang” (meliputi Situbondo, Jember, Bondowoso, Banyuwangi, Lumajang, Kabupaten Probolinggo, dan Kota Probolinggo), persentase anak tidak putus sekolah di Banyuwangi merupakan yang terendah.

ATS adalah anak usia SD/MI/Sederajat, SMP/MTs/Sederajat, dan SMA/MA/sederajat yang tidak pernah sekolah, mengalami putus sekolah tanpa menyelesaikan jenjang pendidikannya, atau anak yang putus sekolah tanpa melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi.

Kepala Dinas Pendidikan Banyuwangi, Suratno, mengatakan sejak 2023 Pemkab Banyuwangi menerapkan kebijakan zero drop out pada jenjang SD dan SMP, sesuai kewenangan yang diatur dalam UUD Pemerintah Daerah, mengingat SMA berada dalam kewenangan pemerintah provinsi.

“Hasilnya hingga akhir 2023 hanya terdapat satu siswa drop out, itu karena orang tua pindah domisili dan tanpa memberikan pemberitahuan pada sekolah,” kata Suratno, Senin, 6 Mei 2024.

Baca Juga : Aktivitas Belajar Sekolah di Surabaya Terapkan Berbahasa Inggris Setiap Jumat

Selain menerapkan kebijakan zero drop out, Banyuwangi juga menggelontorkan berbagai program untuk menekan anak tidak sekolah. Di antaranya program Akselerasi Sekolah Masyarakat (Aksara), untuk memfasilitasi warga berusia dewasa mengikuti pendidikan kesetaraan, terutama kesetaraan SMP (paket B) dan SMA (paket C).

Selain itu, ada program Rintisan Desa Tuntas Wajib Belajar 12 Tahun (Rindu Bulan) yang merupakan program untuk memfasilitasi warga setempat mengikuti pendidikan hingga setara SMA. Program pendidikan ini dilaksanakan berbasis desa/kelurahan.

Ada pula program afirmasi pendidikan seperti Gerakan Daerah Angkat Anak Muda Putus Sekolah (Garda Ampuh). Program yang dilaksanakan sejak 2016 ini menjaring anak yang berhenti sekolah dan mengajaknya kembali ke kelas. Demikian hal nya dengan anak yang terancam putus sekolah, agar mereka tetap bisa melanjutkan pendidikannya.

Banyuwangi juga memberikan program khusus bagi pelajar kurang mampu seperti pemberian uang transpot, uang saku, uang transportasi, tabungan pelajar, hingga pemberian bantuan peralatan sekolah.

Ada juga program Siswa Asuh Sebaya (SAS) yang merupakan gerakan solidaritas antar siswa di Banyuwangi. Gerakan tersebut kini semakin meluas jangkauannya. Tidak hanya membantu antar siswa di dalam sekolah, namun meluas antar sekolah.

Baca Juga : Banyuwangi Siapkan Rp258 Miliar Untuk PPPK dan 97 Persen Guru dan Nakes

Pemkab Banyuwangi juga rutin memberikan beasiswa pada siswa kurang mampu melalui program Banyuwangi Cerdas. Serta berbagai program kolaboratif untuk mengatasi anak putus sekolah lainnya.

Namun, menurut Suratno, memang masih ada pekerjaan rumah yang harus diselesaikan, yakni masih ada siswa yang tidak melanjutkan sekolah, terutama dari jenjang SMP ke SMA.

“Dari semua itu memang yang paling banyak peralihan jenjang dari SMP ke SMA. Meski sesuai Undang Undang Pemerintah Daerah bukan wilayah kami, kami terus berkoordinasi dengan Dinas Pendidikan Jatim cabang Banyuwangi untuk memberikan intervensi-intervensi pada anak-anak yang tidak melanjutkan sekolah,” tandasnya.