Jurnas.net - Pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto, memicu kritik tajam dari kalangan akademisi. Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga (FISIP Unair), Airlangga Pribadi Kusman, dengan tegas menolak langkah tersebut karena dinilai berpotensi mengaburkan luka sejarah, dan menyalahi makna sejati kepahlawanan bangsa.
Menurut Airlangga, kepahlawanan bukan sekadar bentuk penghargaan simbolik, melainkan pengakuan negara terhadap prinsip hidup, pemikiran, dan tindakan seseorang yang sejalan dengan cita-cita berdirinya Republik Indonesia.
"Kepahlawanan harus diteguhkan sebagai integritas negara-bangsa, sebagai hakim kolektif sejarah yang menilai apakah pikiran dan tindakan seseorang selaras dengan tujuan fundamental Republik ini, negara yang diproklamasikan dan diselenggarakan untuk rakyat, bumi, air, udara, tanah, dan laut bagi keselamatan semuanya,” kata Airlangga, Selasa, 11 November 2025.
Airlangga menegaskan, pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto perlu diuji secara kritis berdasarkan “Proposal Historis Indonesia Merdeka,” yakni Pancasila. Ia kemudian mengajukan lima pertanyaan reflektif, untuk menguji kelayakan Soeharto menjadi pahlawan nasional.
1. Pembangunan yang Mengorbankan Rakyat
Airlangga menilai kepemimpinan Soeharto telah mengorbankan keselamatan rakyat demi pertumbuhan ekonomi. Menurutnya, sistem tersebut membuka ruang bagi pembajakan sumber daya negara oleh segelintir elite ekonomi dan politik yang berkuasa.
"Rezim Orde Baru menempatkan pembangunan sebagai jalan kekerasan, mengorbankan rakyat dan sumber daya alam demi angka pertumbuhan ekonomi semata,” tegasnya.
2. Persatuan yang Dipaksakan
Airlangga menyebut Soeharto membatalkan makna sejati persatuan yang inklusif dan setara. "Persatuan sejati yang bhinneka dan anti-feodalisme digantikan dengan tatanan paksaan. Persatuan di era Orde Baru bukan lahir dari kesadaran bersama, tapi dari tekanan kekuasaan,” ujarnya.
Baca Juga : Aktivis 98 Tolak Gelar Pahlawan untuk Soeharto: Jangan Putihkan Luka Sejarah!
3. Prinsip Kerakyatan Diganti ‘Ningratisme’
Menurut Airlangga, tatanan kekuasaan Orde Baru tidak berpijak pada prinsip kerakyatan yang dibimbing oleh hikmah kebijaksanaan, tetapi pada hierarki kekuasaan yang ia sebut ningratisme.
"Yang lahir bukan kerakyatan yang demokratis, tapi sistem bapakisme yang mematikan nalar publik dan menghapus partisipasi rakyat,” ucapnya.
4. Ketidakadilan Sosial dan Politik yang Mengakar
Airlangga menilai rezim Soeharto menciptakan ketimpangan sosial, politik, dan budaya yang mendalam. "Hasil pembangunan hanya dinikmati oleh segelintir kelompok bisnis, birokrasi, dan politik yang dekat dengan lingkar kekuasaan,” katanya.
Menurutnya, ketidakadilan itu diperparah oleh munculnya stigma sosial terhadap kelompok yang dianggap berbeda. "Rakyat distigma: komunis, kiri, sesat, atau minoritas untuk membenarkan perlakuan tidak manusiawi dan menghapus hak partisipasi mereka,” jelasnya.
5. Kekuasaan Absolut dan Pembungkaman Kritik
Airlangga juga menyoroti absolutisme kekuasaan Orde Baru yang membungkam kebebasan berpikir. Menurutnya, sikap semacam ini menutup ruang demokrasi dan menghancurkan nilai kemanusiaan yang menjadi dasar berdirinya Republik.
"Soeharto mengabaikan kesadaran filosofis bahwa yang absolut hanyalah Tuhan. Rezim kekuasaan justru memegang kendali penuh dan menganggap kritik sebagai ancaman,” tegasnya.
Airlangga menegaskan bahwa kelima refleksi tersebut, harus menjadi bahan renungan dalam menilai kelayakan seseorang menjadi pahlawan nasional.
"Pahlawan sejati adalah mereka yang berjuang menegakkan keadilan dan kemanusiaan, bukan yang menindas rakyat atas nama stabilitas. Jika bangsa ini menutup mata terhadap luka sejarah, maka kita sedang kehilangan arah moral,” pungkasnya.
Editor : Amal