Pj Gubernur Jatim Desak Pusat Evaluasi Program Tapera

Pj Gubernur Jatim, Adhy Karyono. (Insani/Jurnas.net)

Jurnas.net – Penjabat (Pj) Gubernur Jawa Timur, Adhy Karyono, menanggapi adanya penolakan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) dari pekerja maupun buruh. Adhy menilai program pusat itu (Tapera) perlu dievaluasi lagi, karena skema yang ditetapkan dinilai memberatkan buruh.

“Program ini bagus bagi pekerja, namun mekanismenya yang mendapat penolakan. Itu kebijakan pusat ya, kan kita sedang menunggu bagaimana plus minusnya tentu kan harus dievaluasi kembali. Pada prinsipnya semua orang mau pekerja apapun butuh rumah,” kata Adhy, di Surabaya, Rabu, 3 Juli 2024.

Menurut Adhy, skema yang ditetapkan pada program Tapera memberatkan buruh. Di mana besaran simpanan peserta 3 persen dari gaji atau upah, untuk yang berstatus Peserta Pekerja maupun Peserta Pekerja Mandiri.

Khusus Peserta Pekerja, rincian yang harus dibayarkan terdiri dari 0,5 persen oleh pemberi kerja dan 2,5 persen sisanya oleh pekerja. Sedangkan peserta pekerja mandiri wajib membayar seluruhnya. Aturan itu tertuang dalam PP Nomor 21 Tahun 2024 tentang perubahan atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Tapera.

“Jadi, yang mendapat penolakan itu mekanismenya saja, mungkin yang perlu diperhatikan bagi mereka yang sudah punya rumah, itu masalah sebetulnya. Kalau yang belum punya rumah bagus sekali, kapan kita bisa nyicil rumah kalau kita nggak ada pemaksaan gitu ya, maksudnya sesuatu yang harus wajib begitu,” ujarnya.

Baca Juga : Jurnalis Sebut RUU Penyiaran Kado Buruk Rezim Jokowi Untuk Bungkam Demokrasi

Kata Adhy, pekerja swasta maupun pegawai negeri punya kemiripan untuk bisa menabung beli rumah. Namun menurutnya, Tapera ini menjadi salah satu solusi supaya pekerja maupun pegawai negeri bisa mempunyai rumah.

“Sama dengan pegawai negeri, kalau nggak dipastikan dengan kredit, saya nggak bisa juga gitu. Karena kebutuhan masyarakat itu banyak, ada yang melihat bahwa kebutuhan untuk rumah menjadi kebutuhan yang sekian, karena yang dihadapi kebutuhan pokok. Ini persoalan prioritas, masing-masing orang punya prioritas. Kalau gaji UMR mungkin gak mikirin rumah, rumahnya seadanya saja,” ucapnya.

Sementara itu, Wakil Sekreraris FSPMI Jatim Nuruddin Hidayat, menegaskan menolak Tapera. Dia menilai Tapera tidak memberikan kepastian kepada peserta program Tapera untuk memiliki rumah.

Menurutnya, pemerintah lepas tanggung jawab dengan tidak menyisihkan anggaran dari APBN untuk perumahan rakyat. Kata dia, iuran TAPERA membebani biaya hidup buruh dan rakyat, di tengah daya beli buruh yang turun 30 persen dan upah minimum yang sangat rendah akibat UU Cipta Kerja.

“Tapera ini rawan penyelewengan, karena selama ini tidak ada preseden kebijakan sosial yang iurannya dihimpun dari masyarakat dan pemerintah tidak mengiur. Tetapi penyelenggaranya adalah pemerintah tanpa melibatkan unsur perwakilan masyarakat,” kata Nuruddin.

Nuruddin menyebut iuran Tapera pemaksaan bagi buruh. Sebab, pekerja yang sudah punya rumah, tetap wajib membayar iuran Tapera. “Jadi, iuran Tapera ini sifatnya pemaksaan, karena meskipun buruh yang sudah memiliki rumah, tetap diwajibkan terdaftar sebagai peserta Tapera dan mengiur setiap bulannya,” tandasnya.