Jurnas.net – Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya mengkali berhasil menekan angka dispensasi kawin (diska) hingga 61,63 persen sepanjang tahun 2024. Penurunan ini merupakan hasil dari inovasi sistemik, pendekatan berbasis masyarakat, dan sinergi lintas sektor.
“Surabaya menunjukkan bukti nyata bahwa intervensi yang tepat, fokus pada wilayah dengan tantangan budaya yang kuat, mampu menghasilkan perubahan besar. Penurunan 61,63 persen angka diska adalah hasil kerja kolektif seluruh elemen kota,” kata Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi, Jumat, 13 Juni 2025.
Salah satu terobosan kunci yang dilakukan adalah penandatanganan MoU dengan Pengadilan Agama, yang memperketat persyaratan administratif. Salah satunya melalui pembatasan surat keterangan belum menikah (N1) bagi calon pasangan yang belum memenuhi usia ideal menikah. Selain itu, MoU tersebut juga mengatur tanggung jawab suami pasca-cerai, termasuk pemberian nafkah kepada anak dan mantan istri.
“Jika tidak menjalankan kewajiban nafkah, Pemkot bisa memblokir KTP yang otomatis memengaruhi akses ke BPJS dan bantuan sosial lainnya. Ini terbukti menurunkan angka perceraian,” katanya.
Baca Juga : Ribuan Warga Surabaya Cerai di Awal 2025 Gegara Judol dan Pinjol
Untuk mendukung langkah ini, Pemkot telah mengembangkan sistem Satu Data Digital, yang memungkinkan integrasi langsung dengan data putusan cerai dan pengawasan berbasis kunjungan lapangan. Pemkot bahkan mengusulkan skema pembayaran nafkah di muka selama enam bulan hingga satu tahun sebagai bentuk edukasi tanggung jawab jangka panjang.
Keberhasilan ini menjadi salah satu pilar penting dalam mewujudkan visi Surabaya sebagai kota dunia yang humanis, maju, dan berkelanjutan. Surabaya kini telah tergabung dalam UNESCO Aspnet Cities dan tengah dalam proses menjadi bagian dari Child Friendly Cities Initiative (CFCI) UNICEF.
Menurut Eri, akar dari pernikahan dini harus diberantas melalui pendekatan edukatif dan preventif. Oleh karena itu, Pemkot mengembangkan program-program seperti Sekolah Orang Tua Hebat (SOTH), Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga), serta edukasi berbasis komunitas melalui Balai RW.
“Melarang tidak cukup. Harus disertai sosialisasi dan penguatan kapasitas masyarakat,” katanya.
Keberhasilan Surabaya juga tidak lepas dari struktur kelembagaan yang solid, seperti DP3APPKB, Satgas PKBM, hingga fasilitator Puspaga tingkat RW. Program ini didukung penuh oleh konselor terlatih, kader PKK, Kader Surabaya Hebat, Karang Taruna, serta relawan pendidikan dan tokoh agama.
“Kami dorong anak dan keluarga sebagai pelopor dan pelapor. Mereka harus menjadi suara perubahan dari dalam lingkungan masing-masing,” ucapnya.
Baca Juga : Mensos Bersama PPPA dan Muslimat NU Kolaborasi Entaskan Kemiskinan dan Perlindungan Perempuan dan Anak
Berbagai inovasi lain juga terus dikembangkan, termasuk aplikasi Sayang Keluarga, kelas calon pengantin, Puskesmas Ramah Anak, hingga pendampingan melalui sistem SSW Alfa. Semua terkoneksi dalam sistem monitoring dan evaluasi terpadu.
“Surabaya tidak pernah berhenti berinovasi. Tapi kuncinya tetap satu, gotong royong dan kebersamaan,” ujarnya.
Sementara itu, Kepala DP3APPKB Kota Surabaya, Ida Widayati, menyebut keberhasilan ini juga ditopang oleh program Kampung Ramah Perempuan dan Anak (KASRPA) yang menyentuh langsung kehidupan masyarakat. Program ini meliputi Kampung ASI, Kampung Aman, Kampung Belajar, hingga pemantauan jam malam anak.
“Setiap wilayah punya karakter. Maka kami menggandeng tokoh agama agar pesan yang disampaikan dapat diterima secara kultural dan lebih efektif,” kata Ida.