Jurnas.net - Di tengah derasnya arus adopsi teknologi Generative Artificial Intelligence (GenAI) dalam dunia industri kreatif global, Universitas Ciputra (UC) Surabaya justru mengambil langkah reflektif: mengajak publik untuk merenung, “Siapa yang sebenarnya mengendalikan desain manusia atau mesin?”.
Pertanyaan filosofis itu menjadi titik awal diskusi ilmiah bertajuk “The Role of Your Design Positionality and Pluriversality in the Era of GenAI”, yang diselenggarakan oleh School of Creative Industry (SCI) Universitas Ciputra. Acara ini menghadirkan Dr. Fanny Suhendra, Academic Director of Partnerships, School of Design and Architecture, Swinburne University of Technology Australia, sebagai pembicara utama.
Kunjungan delegasi Swinburne ke UC kali ini tak sekadar berbagi wawasan, tetapi juga menjadi momentum penting dalam inisiasi kerja sama program double degree antara School of Design and Architecture – Swinburne dengan School of Creative Industry – UC.
Diskusi ini diikuti oleh mahasiswa dari tiga program studi, yakni Visual Communication Design (VCD), Architecture (ARS), dan Fashion Design and Business (FDB). Fokus utama diskusi adalah pada dua konsep penting dalam praktik desain modern: design positionality kesadaran posisi diri dan nilai dalam proses berkarya, serta pluriversality penghargaan terhadap keragaman cara berpikir dan budaya di tengah dominasi teknologi AI.
Menurut Dean of School of Creative Industry UC, Susan, teknologi AI memang mempercepat proses produksi visual, namun membawa tantangan besar berupa homogenisasi budaya dan estetika global.
"AI bisa menggambar lebih cepat, tetapi belum tentu memahami konteks sosial dan budaya di balik desain. Di sinilah pentingnya positionality — agar desainer muda memahami dari mana mereka berpikir, nilai apa yang mereka bawa, dan siapa yang diwakili oleh karya mereka,” kata Susan, Selasa, 11 November 2025.
Pendekatan pluriversality, lanjutnya, menjadi cara melawan dominasi tunggal tersebut dengan menghadirkan banyak perspektif, termasuk yang berakar dari nilai dan filosofi budaya Nusantara.
Data World Economic Forum (2024) mencatat bahwa sekitar 60% pekerjaan di industri kreatif global kini bersinggungan langsung dengan teknologi AI.
Baca Juga : Surabaya Jadi Laboratorium Budaya: Mahasiswa Dua Negara Revitalisasi Warisan Arsitektur Kota
Sementara laporan McKinsey (2023) menunjukkan lebih dari 40�sainer muda menggunakan generative tools seperti Midjourney dan ChatGPT dalam proses ideasi visual. Namun, hanya 12�sainer di Asia Tenggara yang mempertimbangkan konteks etis dan budaya dalam pemanfaatan AI.
Temuan tersebut menegaskan pentingnya topik ini bagi dunia pendidikan desain di Indonesia. Dengan kekayaan budaya dan keragaman nilai yang dimiliki, Indonesia berpotensi menjadi pusat pendekatan desain yang berkarakter dan beridentitas lokal, bukan sekadar peniru tren global. "Tujuan kami bukan sekadar membuat mahasiswa mahir menggunakan AI,” tegas Susan.
"Kami ingin mereka memahami tanggung jawab sosial di balik karya kreatif. Dengan positionality dan pluriversality, mahasiswa belajar bahwa desain adalah dialog antara manusia, budaya, dan teknologi. AI mungkin bisa menciptakan bentuk, tetapi hanya manusia yang bisa memberi makna," tandasnya.
Editor : Amal